Unknown
On Senin, 03 Juni 2013
Pesatnya kemajuan Teknologi dan Informasi (TI) terutama penggunaan internet di kalangan masyarakat membuat dunia ini seolah tiada batas ruang dan waktu lagi. Semua orang memiliki banyak kemudahan berkomunikasi dan bertransaksi melalui layanan elektronik atau dikenal dengan e-government dan e-commerce.
Namun, kemajuan TI juga disebut Direktur Keamanan Informasi Kementerian Kominfo, Bambang Heru Tjahyono, bagai dua sisi masa uang. Mengundang celah munculnya berbagai tindak kejahatan dalam dunia maya (cybercrimes), seperti adanya istilah hacking, pembobolan kartu kredit (carding), defacing, cyber terrorism, phising, viruses, dan berbagai tindak kejahatan lainnya.
"Karakteristik dunia maya yang serba anonymous (tanpa nama) dan ubiqotous (bisa diakses kapan dan di mana pun) ini cukup menyulitkan penegak hukum melacak pelakunya. Kondisi inilah yang menuntut aparat penegak hukum harus mengetahui dan mengenai cyberlaw," ujar Bambang Heru sesaat sebelum membuka seminar Pengaturan Cybercrime dalam UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Hotel Aston, Grand Sudirman, Balikpapan, Kamis (25/4) tadi.
Menurut dia, lahirnya UU ITE merupakan solusi dari pemerintah untuk mengatur semua hal yang berkaitan dengan dunia maya. UU ITE ini menjadi acuan para aparat hukum untuk bertindak dan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku yang disangka melakukan berbagai tindak kejahatan di dunia maya.
Seminar di Balikpapan ini diselenggarakan oleh Direktorat Keamanan Informasi, Ditjen Aplikasi Informatika Kemkominfo bekerjasama dengan Dinas Kominfo Kaltim. Seminar dengan menghadirkan dua narasumber -- Edmon Makarim (Lektor Universitas Indonesia) dan Niken Dwi Wahyu Cahyani - itu mendapat perhatian antusias peserta yang terdiri aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan lainnya termasuk para pengguna TI di provinsi Kalimantan Timur.
Sementara Kepala Diskominfo Kaltim yang diwakili Kabid Aptel, Alwi Gasim, menyambut baik seminar ini. Ia pun menyebut, pemanfaatan TIK memberikan kemudahan masyarakat dalam melakukan berbagai transaksi, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memperoleh informasi secara luas dan tanpa batas. Penggunaan TIK ini juga melahirkan cara baru berdagang, berproduksi, bertransaksi sehingga ada istilah new economy, knowledge economy, e-economy dan sejumlah nama lain yang menyiratkan model ekonomi baru.
"Berbagai kemudahan pemanfaatan TIK itu tidak menutup kemungkinan munculnya tindak kejahatan di dunia maya. Karena itu, UU ITE selain memberi kepastian hukum juga mengatur pengakuan azas extra territorial jurisdiction, penerapan azas netral teknologi, pengakuan informasi dan dokumen elektronik serta pengakuan tanda tangan elektronik," ucap Alwi Gasim.
Sementara Edmon Makarim menyebut, pemanfaatan teknologi informasi dan hukum merupakan dua hal yang saling mempengaruhi dalam masyarakat. "Karena itu, keberadaan UU ITE menjembatani antara hukum dengan penggunaan teknologi informasi dunia maya. Sebab, telah ada pengakuan terhadap informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah," ungkap Lektor Utama UI yang masuk salah satu tim perancang UU ITE itu.
Lalu bagaimana cara investigasi dalam hal menggali data dan informasi elektronik untuk mengungkap kejahatan dunia maya? Narasumber kedua, Niken Dwi Cahyani mengupasnya dengan jelas dan luas. Ia menyebut, digital forensic merupakan upaya menggali alat bukti digital yang sah dan dapat diterima di pengadilan.
"Cara untuk mendapatkan data dan informasi secara forensik digital yaitu, network, computer, mobile, database, dan live forensic. Tujuan forensik digital ini adalah untuk identifikasi, pengumpulan, perlindungan, dan analisa data dengan cara ilmiah sehingga didapatkan bukti yang otentik," jelas Niken, narasumber dari ITT PT Telkom itu.